Minggu, 03 April 2011

Fenomena Collection New Work

Dunia perbankan sedang dalam sorotan. Beberapa waktu yang lewat, seorang nasabah di Citibank yang bernama Irzen Octa dikabarkan meninggal akibat dugaan disiksa oleh petugas yang bekerja di salahsatu bank terkemuka tersebut. Beberapa pertanyaan patut diajukan dan pastinya pertanyaan-pertanyaan itu berkeliling memenuhi benak orang awam yang tidak mengetahui kejadian yang sebenarnya. Debat kusir dan opini minor pun lantas menggiring bisnis perbankan ke sisi tembok paling pojok dan menerima justifikasi negatif dari masyarakat. Adakah ruang gelap dalam sistem perbankan? Hingga penyiksaan seolah-olah mendapatkan legitimasi dan apakah sebuah hal yang absurd terlanjur dianggap kenormalan meski jelas-jelas diambang rasio? Bahkan rasio kebinatangan sekalipun?

Dalam suatu kesempatan, seorang enterprenuer pernah berbagi cerita. Sungguh, pekerjaan menagih hutang bukan perkara yang gampang. Bagi seorang desk collection, apakah mereka di divisi inhouse atau pun field collector, sesungguhnya menjalankan pekerjaan yang memiliki tingkat stressing tinggi. Mencermati case kematian nasabah di Citibank, mari kita gunakan pola pikir yang obyektif, berdasarkan perenungan dari berbagai sisi, dan tentunya menuntut imparsialitas kita dalam memandang permasalahan yang ada.

Bukan rahasia umum bahwa sebagian besar, bahkan hampir semua pegawai yang bekerja sebagai desk collection adalah pegawai yang berstatus outsourcing. Dengan menyiasati Undang-Undang Ketenagakerjaan, maka setelah dua kali masa perpanjangan kontrak, biasanya pegawai yang bersangkutan akan dipindahkan ke perusahaan penyedia tenaga outsource yang lain. Sehingga pegawai yang bersangkutan tidak harus diangkat menjadi pegawai tetap. Perusahaan outsource dan perusahaan perbankan, pada umumnya hanya memberikan gaji pokok sesuai dengan ketentuan UMR. Sedangkan stimulus bagi pekerja, akan diberikan insentif bila target yang telah ditentukan sebelumnya terlampaui.

Berdasarkan hal tersebut, hanya ada dua pilihan bagi pegawai yang berstatus sebagai pegawai kontrak. Memenuhi target, atau akan di terminate dan kedua perusahaan itu tidak perlu repot-repot menyediakan pesangon. Dengan demikian, pegawai yang bersangkutan akan menggunakan berbagai cara agar beban target dapat tercapai dan insentif dapat mereka nikmati. Meski terdengar aneh, tetapi memaki-maki, atau bahkan mendiskreditkan customer hampir tidak dapat dihindari dalam dunia desk collection. Dan kasus yang terbaru ini, bahkan harus merenggut korban jiwa.

Point yang kedua, seperti disinggung diatas, bekerja sebagai penagih hutang memang memiliki tingkat resiko stress yang tinggi. Terkadang, tidak jarang terdapat nasabah yang memang memiliki karakter temperamen, atau beberapa nasabah yang tidak mempunyai ihtikad baik menyelesaikan hutangnya. Padahal, di lain sisi, petugas desk collection membutuhkan banyak payment agar diakhir bulan dapat memiliki uang yang cukup untuk dibawa pulang, atau minimal akan lebih safe dan terhindar dari staffing strategy.

Untuk itu, butuh kearifan dari pemerintah dan pengusaha, agar ke depan, tidak akan ada korban seperti Irzen Ochta yang selanjutnya. Kita berharap, pemerintah me­review kebijakan tentang outsourcing dan bagi petugas desk collection, mari kita gunakan cara-cara yang lebih wise dan smart, kita optimalkan negotiation skills dengan lebih santun, agar hasilnya lebih maksimal, dan meminimalisir komplain dari nasabah. Terakhir, mari kita berharap aparat kepolisian mengusut tuntas kasus ini, dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap dunia perbankan.